Alasan Saya Suka Pakai Linux
20 Oktober 2024 · 4 minutes
Mau cerita sedikit soal pengalaman saya pakai Linux. Dari yang awalnya “ini OS apaan sih” jadi OS favorit saya sampai saat ini.
Sekitar tahun 2015, salah satu teman satu jurusan saya lagi asik mainin laptop. Layarnya menampilkan tampilan yang nggak lazim buat saya. Sebuah layar berwarna ungu, dengan tulisan yang mayoritas teksnya “downloading…”.
“Lagi ngapain?”, tanya saya.
“Lagi ngulik Ubuntu”.
Ubuntu? Makhluk apa itu? Pikir saya. Sambil saya lihatin, kok kayaknya seru ya. Saya tanya-tanya seputar Ubuntu ini, dan yang bikin saya tertarik, ternyata Ubuntu ini adalah sistem yang bisa diunduh secara gratis dan open source. Wow!
Bermodalkan insight dari teman saya tersebut, saya mencoba melakukan dual boot di laptop saya. Beberapa kali sempat gagal. Impactnya, mau nggak mau harus clean install ulang laptop beberapa kali 🫠
Distro yang pertama kali saya pakai adalah distro Ubuntu. Pakai desktop environment GNOME. So far oke, tapi laptop kentang saya somehow terasa berat. Saya cek ternyata Ubuntu GNOME ini ngabisin cukup banyak memory.
Akhirnya, saya tau ada distro Ubuntu yang memory usagenya terbilang cukup kecil, yaitu Ubuntu MATE. Pas saya coba, ternyata sangat enteng di laptop saya yang kentang ini. Beda dengan Ubuntu GNOME yang cukup banyak animasi transisinya, Ubuntu MATE tidak ada animasi transisi sama sekali. Rasanya jadi lebih snappy aja. Mungkin ini juga yang membuat Ubuntu GNOME terasa berat di laptop saya.
Oiya, saya juga udah pernah coba beberapa distro Linux lainnya. Sempat install Kali Linux, karena dulu ada ketertarikan di bidang cyber security. Tapi nggak bertahan lama, karena saya sadar, ternyata saya lebih punya passion di web development.
Lalu pernah coba Linux Mint. Tapi ngerasa nggak cocok aja. Pernah juga coba Solus OS. Overall oke sih. Cukup ringan juga. Tapi karena waktu itu masih baru-baru rilis, resource-nya masih tergolong sedikit. Belum cek-cek lagi kalau sekarang. Udah kepalang nyaman sama Ubuntu, hehe.
Setelah eksplorasi berbagai distro Linux, saya memantapkan diri untuk pakai Ubuntu MATE secara fulltime. Sejak saat itu, saya udah males lagi ngulik-ngulik distro Linux, karena capek harus install ulang terus, haha. Total udah 7 tahun lebih saya pakai distro ini, dan nyaman-nyaman aja.
Kenapa Linux?
Sejak kuliah di jurusan IT, saya jadi lebih menghargai lisensi dari sebuah software. Sebisa mungkin saya berusaha untuk menghindari software bajakan, dan menggunakan software yang legal.
Karena saya udah sadar, bikin software itu nggak gampang.
Dulu saya edit vektor di CorelDraw. Kemudian saya beralih ke Inkscape. Photoshop digantikan dengan GIMP. Hampir semua software berbayar selalu ada alternatif yang versi gratisnya. Dan saya selalu pakai itu.
Saya pun udah lepas dari Microsoft Word/Excel. Digantikan dengan LibreOffice atau Google Docs/Spreadsheet.
Selain itu, kebutuhan saya juga nggak aneh-aneh. Saya nggak perlu edit video pakai Adobe Premiere Pro, atau aktivitas-aktivitas multimedia lainnya. Saya cuma perlu sistem operasi yang nyaman dipakai ngoding, dan Ubuntu sangat cocok dengan kriteria ini.
Kenapa Nggak Pakai Windows Aja?
Salah satu hal yang cukup menyebalkan dari Windows adalah fitur auto-updatenya. Bikin lemot laptop kentang saya. Pernah juga di momen-momen krusial, tiba-tiba laptop saya install update secara otomatis, dan proses installnya ini cukup lama.
Saya pikir “dahlah, nggak pakai-pakai Windows lagi”.
Sebenarnya fitur auto update ini bisa dimatikan. Tapi kadang, meskipun udah dimatikan secara manual, tiba-tiba settingnya berubah lagi jadi update otomatis, tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Microsoft terus memaksa user untuk melakukan update, di saat user merasa “updatenya nanti ajalah gapapa”.
Ini tentu tindakan yang menurut saya, kurang menghargai keputusan user. Kalau sekiranya harus banget update otomatis, lalu kenapa ada fitur untuk nonaktifkan pembaruan otomatis? Nggak masuk akal.
Di distro Linux macam Ubuntu, update otomatis tetap ada. Tapi, biasanya ini dilakukan di belakang layar, dan update untuk security patch aja.
Kalau ada pembaruan software/library, biasanya Ubuntu akan minta persetujuan kita untuk melakukan pembaruan saat itu juga, atau mau nanti aja. Ini yang saya suka juga dari Linux.
Tentunya, dengan segala hal yang saya suka dari Linux, ada juga hal-hal yang bikin jengkel di Linux. Beberapa kali, sempat laptop saya tiba-tiba restart sendiri. Saya berasumsi karena memorinya nggak cukup, karena harus buka banyak software yang ngabisin memory cukup gede kayak Slack dan Figma. Setelah saya tambah RAM lagi sebesar 4GB, masalah ini udah jarang sekali kejadian.
Baru-baru ini, saya upgrade versi dari 22.04 ke 24.04. Setelah berhasil, masih ada beberapa package yang bisa diupgrade. Karena pakai software updater biasa, package-package ini nggak ke-upgrade terus, akhirnya saya ngide pakai Synaptic Package Manager.
Proses upgrade-nya berhasil, tapi somehow setelah upgrade, halaman loginnya jadi jelek. Layarnya full hitam, icon-iconnya nggak ke-load. Tema untuk halaman login yang udah diatur di pengaturan, somehow nggak terbaca.
Untungnya, ini cuma ngaruh di halaman login. Setelah login, temanya berhasil ke-load. Jadi ya bukan issue yang blocker, tapi lama-lama annoying juga. Udah searching tapi masih belum nemu solusi yang pas. Mungkin perlu tanya langsung ke komunitas.
Dari semua hal di atas, saya tetap menyukai sistem operasi ini. Jika ada kesempatan untuk upgrade laptop, saya akan tetap install Linux. Tepatnya, masih pakai Ubuntu MATE. Mungkin kali ini akan full instalasi, nggak dual boot lagi. Biar nanti saya install VirtualBox kalau sewaktu-waktu perlu sistem operasi Windows.
Tapi kayaknya nggak bakalan perlu sih, hahaha 🤣