Kenapa menulis?
Kalau ditanya kenapa saya menulis, padahal nggak– belum menghasilkan uang, jawabannya sih sesederhana karena saya suka menulis.
Menulis jadi sarana untuk menuangkan isi kepala, yang semakin dewasa ternyata semakin berisik.
Banyak hal yang menarik yang sangat disayangkan untuk dilewatkan gitu aja. Banyak keresahan yang timbul karena ketidakpastian hidup. Banyak kecemasan yang mencuat karena kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin kesini, malah semakin ke sana.
Menulis memang nggak selalu menghasilkan uang, tapi hey, siapa yang tau kan, kalau tulisan yang kita buat di kala duduk gabut di beranda, justru bisa mengubah nasib seseorang di belahan dunia yang lain.
Lagipula, menulis itu hobi yang udah saya tekuni dari sejak SMA.
Masa di mana saya lagi senang-senangnya nulis esai singkat, walaupun kadang nggak jelas apa poin utama yang mau disampaikan.
Masa di mana saya lagi senang-senangnya menulis cerita bersambung di Kaskus, karena terinspirasi dari trit-trit legend macam Sepasang Kaos Kaki Hitam, Accidentally in Love, dan cerita-cerita lainnya.
Masa di mana saya juga lagi senang nulis puisi di Kaskus, yang mana ujung-ujungnya sering pusing sendiri mikirin diksi dan rima yang pas dan sesuai.
Sampai-sampai, pekerjaan saya pun sekarang ini nggak jauh dari menulis: programmer. Seseorang yang tiap harinya berkutat di depan komputer. Menulis baris-baris kode untuk merealisasikan proses bisnis yang telah dikonsepkan. Bisa dibilang, ini adalah salah satu hobi saya yang dibayar, haha.
Nulis e-book juga jadi salah satu hobi yang dibayar. Walaupun bayarannya nggak sebesar gaji kerja full-time, tapi ada kepuasan tersendiri ketika ada yang berkenan menyisihkan sebagian uangnya untuk membeli karya saya.
Lebih jauh dari itu semua: dengan menulis, meskipun raga kita sudah tiada, tapi pemikiran-pemikiran kita akan tetap hidup sepanjang masa.
Peradaban semakin berkembang salah satunya karena tulisan. Gagasan-gagasan yang menjadi dasar ilmu pengetahuan, semuanya diabadikan dalam tulisan ilmiah. Karya-karya sastra klasik dan legendaris, juga diabadikan dalam bentuk tulisan, entah itu novel klasik atau baris-baris syair.
Salah satu karya sastra klasik yang sangat berpengaruh terhadap hidup saya adalah novel Sherlock Holmes, karya Sir Arthur Conan Doyle. Seorang detektif ahli deduksi, yang hanya dari telapak tangannya saja, bisa tau apa profesi seorang lawan bicaranya tersebut.
Novel ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis, kemampuan berdeduksi, dan memperhatikan hal-hal kecil untuk membuktikan asumsi-asumsi yang kita buat. Mungkin karena ini juga saya jadi tertarik sama programming, karena kalau ada bug, proses mencari root cause-nya itu seperti mencari pelaku kejahatan yang dilakuan Holmes. Bedanya, saya nggak harus keluar malam-malam hanya untuk menguji satu asumsi liar, haha.
Dengan semua alasan tersebut, rasanya nggak ada bagi saya buat nggak nulis.
Cognitive debt
Di era AI, di mana sedikit-sedikit tanya AI, ada satu kondisi yang harus diwaspadai, yaitu cognitive debt: utang kognitif. Sebuah kondisi di mana kemampuan kognitif, seperti mengingat dan berpikir kritis, semakin menurun karena kita cenderung langsung mencari solusi atas suatu permasalahan secara instan, tanpa melalui proses berpikir yang panjang.
Misalnya, alih-alih membuat tulisan yang orisinil dan otentik, kita meminta AI untuk membuat tulisan secara utuh, yang tentu saja, bisa selesai di bawah 1 menit.
Padahal, kegiatan menulis itu sarat akan hal-hal kognitif:
- riset terhadap topik yang akan dibahas;
- menyusun kerangka tulisan;
- membaca ulang tulisan, dan;
- menyesuaikan lagi kalimat-kalimat pada tulisan supaya lebih mudah dipahami.
Proses ini perlu dilakukan supaya value yang ingin disampaikan lewat tulisan bisa diterima dengan baik oleh pembaca.
Di dunia kerja, di tulisan ini saya membahas bagaimana saya menggunakan AI untuk membantu pekerjaan saya: sebagai partner dan teman diskusi.
Saya pernah coba Cursor dan Windsurf, tapi… entahlah. Saya masih senang mengetik baris-baris kode satu per satu. Mendengar suara yang dihasilkan oleh mechanical keyboard ketika jari-jari saya menari di atasnya. Memikirkan setiap kemungkinan dari penyebab suatu bug. Memikirkan solusi yang tepat dan scalable untuk ke depannya.
DHH di podcast-nya Lex Friedmann bahkan bilang bahwa dia merasakan bahwa kompetensinya perlahan terkuras ketika dia membiarkan AI menulis kode untuknya. Dia merasa nggak belajar sesuatu, dan itu menakutkan.
Semua aktivitas ini— menulis artikel, dan programming, mengharuskan saya untuk selalu berpikir. Saya nggak mau lagi merasakan rasanya kaku ketika menulis kode atau menulis artikel karena kelamaan nggak nulis atau ngoding, seperti yang saya rasakan pada saat kuliah dulu.
Makanya, di footer blog ini saya cantumkan bahwa tulisan-tulisan saya di blog ini ditulis oleh manusia, yaitu saya sendiri.
Oh, dan penggunaan em dash (—) di tulisan ini bukan berarti tulisan ini ditulis oleh AI, tapi karena saya suka aja pakenya, haha.
Kalau pembaca juga senang menulis di media online, yuk mampir ke halaman Buku Tamu dan isi buku tamunya biar saya bisa berkunjung juga ke blog/akun pembaca. Mari hidupkan lagi budaya blog walking yang sudah lama hilang itu.
Salam,
adipurnm.