(3/3) Liburan ke Yogyakarta: Museum, Kuliner, dan Oleh-oleh


28 Januari 2020 · 5 menit

Halo. Udah lama juga ya sejak terakhir post saya yang liburan ke Yogyakarta part 2. Karena kesibukan dan satu-lain hal, akhirnya tulisan yang harusnya jadi penutup seri liburan ke Yogyakarta telat terbit.

So, untuk melunasi hutang, mari kita mulai lagi menulis liburan ke Yogyakarta part 3.


Hari ketiga di Yogyakarta kami habiskan dengan kulineran, lagi dan lagi. Yaa karena tujuan utama kami liburan untuk menikmati kuliner khas Yogyakarta sih.

Kali ini kami berangkat lebih pagi. Dimulai dengan sarapan soto Pak Marto yang terletak di Jalan Letjen S. Parman.

Soto Pak Marto Soto Pak Marto

Kami tiba sekitar pukul setengah 8. Meskipun masih pagi, soto Pak Marto ini terbilang cukup ramai. Beberapa ada yang sudah hampir selesai makan. Ada juga yang masih duduk bercengkrama bersama kerabat masing-masing sambil menunggu pesanan datang.

Kedai soto Pak Marto ini terbagi ke dalam 2 ruangan. Ruangan paling dalam letaknya sedikit lebih rendah daripada ruangan terluar. Ruangan paling dalam juga areanya lebih luas.

Setelah memesan, kami berjalan menuju ruangan paling dalam, duduk di bangku yang kosong. Sama seperti yang lainnya, saya dan istri ngobrol ngalor ngidul sambil menunggu pesanan soto datang.

Setelah kurang lebih 15 menit menunggu. Pesanan soto kami pun tiba. Saya yang sudah penasaran sama rasanya langsung mengambil sendok dan mencicipi rasanya.

Soto Pak Marto Wajib coba kalau ke Yogyakarta. Sumber: dokumentasi pribadi.

Pantas saja disebut soto legendaris. Selain karena sudah berdiri sejak tahun 1960, rasanya pun enak banget. Rasanya saya nggak perlu lagi menambahkan garam atau cuka karena rasanya sudah pas sekali di lidah saya.


Setelah selesai makan soto, destinasi kami selanjutnya adalah museum Sonobudoyo yang terletak di wilayah alun-alun utara Yogyakarata. Sebelum masuk ke museum saya membeli masker terlebih dahulu karena sepertinya kawasan museum adalah kawasan wajib masker.

Alasan kami menuju museum sebenarnya karena perlu tempat untuk berteduh, hehe. Cuaca Yogyakarta yang panas membuat kami mudah sekali berkeringat.

Daripada cuma duduk di beranda depannya, lebih baik kami masuk ke dalam, sambil menikmati sejarah dan peninggalannya yang beberapa berupa replika.

Museum Sonobudoyo Ibu negara lagi sibuk nih. Sumber: dokumentasi pribadi.

Saya cukup terlarut membaca deskripsi dari peninggalan-peninggalan sejarah, sambil membayangkan situasi dan kondisi ketika penginggalan-peninggalan tersebut masih digunakan pada masanya. Seru juga sesekali belajar sejarah kalau sambil lihat peninggalannya.


Setelah puas berkeliling dan mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan, kami menuju destinasi selanjutnya, yaitu Tempo Gelato.

Bagi yang belum tahu, Tempo Gelato ini adalah sebuah tempat kuliner spesialis gelato yang cukup terkenal di Yogyakarta.

Tempo Gelato Tempo gelato. Sumber: dokumentasi pribadi.

Sesampainya di sana, terlihat bahwa tempat ini cukup ramai. Kami pun masuk ke dalam. Istri memesan es krim, sementara saya yang mencari tempat duduk yang kosong.

Mata saya menyusuri setiap sudut ruangan. Kagum dengan desain interior bernuansa kecoklatan ala Eropa. Hampur semua sudutnya estetik, dan sangat Instagramable.

Sebagian besar dinding ruangan dipenuhi oleh bingkai foto pengunjung sambil memakan gelato. Beberapa di antaranya adalah artis-artis yang acapkali tampil di layar televisi.

Saya memesan gelato stroberi dan nanas, sedangkan istri pesan gelato coklat dan vanila. Sengaja pesan gelato rasa buah karena sedang ingin yang segar-segar di tenggorokan.

Tempo Gelato Gelato date. Sumber: dokumentasi pribadi.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya pesanan kami tiba. Saya nggak berhenti-berhentinya memuji rasa gelato di sini. Enak banget! Rasanya ingin nambah tapi kalau kelamaan di sini takutnya keburu sore dan nggak keburu ke desinasi selanjutnya.


Waktu menunjukan pukul setengah 2 siang ketika kami tiba di destinasi selanjutnya. Sebuah kedai bakmi yang terletak di Jalan Nyi Ageng Nis No.9, Rejowinangun: Bakmi Mbah Gito.

Bakmi Mbah Gito Bakmi Mbah Gito. Sumber: dokumentasi pribadi.

Sebuah kedai yang dibangun menggunakan kayu-kayu jati yang kokoh. Meskipun kayu-kayunya sengaja dipotong apa adanya, justru inilah yang membuat interor kedai Mbah Gito menjadi khas.

Bakmi Mbah Gito Ini di bagian dalamnya. Sumber: dokumentasi pribadi.

Nggak seperti Tempo Gelato, meskipun terkenal bakmi legendaris, kedai bakmi Mbah Gito bisa dibilang tidak terlalu ramai ketika kami datang. Mungkin karena bukan musim liburan kali ya.

Kami disambut oleh seorang pelayan laki-laki, mengenakan pakaian adat Jawa. Kami memesan 2 porsi bakmi goreng dan es teh manis. Masih ingin yang segar-segar karena masih belum terbiasa dengan suhu di Yogyakarta.

Bakmi Mbah Gito Bakmi Mbah Gito. Sumber: dokumentasi pribadi.

Kami agak kewalahan ketika menghabiskan porsi bakmi kami masing-masing. Perut kami rasanya masih kenyang setelah sebelumnya makan soto dan gelato.


Kami bersiap menuju destinasi selanjutnya: Malioboro, ketika bakmi kami habis. Bagi pendatang seperti kami, belum ke Yogyakarta rasanya kalau belum ke Malioboro.

Suasana di Malioboro masih belum terlalu ramai, karena hari baru menjelang sore, sekitar pukul 3. Setelah shalat ashar, kami membeli baju sebagai oleh-oleh untuk kami sendiri, orang tua dan adik di rumah.

Malioboro Malioboro. Sumber: dokumentasi pribadi.

Kami menikmati sore di Malioboro dengan duduk di bangku panjang dari aluminium bercat hitam yang berjajar rapi di tepi jalan, sambil ngobrol ngalor ngidul. Kemudian istri mengajak untuk berjalan ke arah nol kilometer Yogyakarta, yang terletak nggak jauh dari posisi kami saat itu. Saya pun mengiyakan.

Nol Kilometer Nol kilometer Yogyakarta. Sumber: dokumentasi pribadi.

Di trotoar banyak sekali pedagang yang menyajikan jajanannya, berbaur dengan pejalan kaki. Beberapa ada yang berjualan sate. Ada juga yang jualan wedang ronde.

Selepas berfoto di spot nol kilometer, kami mampir dulu ke salah satu pedagang wedang ronde. Hanya istri yang memesan, karena saya masih kenyang.

Wedang Ronde Wedang ronde. Sumber: dokumentasi pribadi.

Hari semakin sore. Kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Sebelum ke penginapan, kami mampir dulu ke sebuah toko pusat oleh-oleh untuk membeli bakpia. Sama seperti ke Malioboro, rasanya belum ke Yogyakarta kalau nggak beli oleh-oleh bakpia.

Kami tiba di penginapan tepat saat magrib. Kami menghabiskan sisa malam di Yogyakarta dengan rebahan, karena badan ini rasanya pegal-pegal setelah jalan-jalan ke sana ke mari, hehe.

Malamnya, salah satu teman istri dan pasangannya berkunjung ke penginapan. Sepertinya masih kangen karena akhirnya mereka bisa bertemu lagi setelah hampir 7 tahun tidak bertemu.

Kami saling bertukar cerita, hingga tak terasa waktu semakin larut. Mereka pamit, kemudian memberikan bingkisan makanan kepada kami sebagai oleh-oleh. Lengkap sudah oleh-oleh yang kami bawa.


Kami berangkat pagi-pagi sekali dari penginapan, karena harus mengembalikan motor sewa dan mengambil kartu identitas saya yang digunakan sebagai jaminan oleh jasa sewa motor.

Selain itu, kami mengambil jadwal keberangkatan pagi, supaya siang sudah bisa tiba di rumah dan beristirahat dengan nyaman.

Selepas mengembalikan motor, kami sarapan di salah satu angkringan dekat stasiun. Sambil makan saya mencoba mendengarkan percakapan antara penjual dan pembeli yang sepertinya masih warga lokal. Bahasanya tidak saya mengerti karena mereka menggunakan bahawa Jawa.

Angkringan Angkringan dekat stasiun. Sumber: dokumentasi pribadi.

Pukul 7.45, kami masuk ke stasiun. Sempat ada sedikit drama tapi alhamdulillah bisa terselesaikan, walaupun pada akhirnya kami kena teguran dari petugas stasiun, hehe. Jangan ditiru yah.

Kereta datang sekitar pukul 8 pagi. Kami kembali mengecek barang-barang bawaan, memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Kami pun memasuki gerbong sesuai dengan aplikasi KAI Access.

Perlahan, kereta pun melaju meninggalkan Yogyakarta.


Sungguh perjalanan yang menyenangkan. Semoga kami bisa kembali liburan ke sini di lain waktu. Nggak hanya berdua bersama istri, tapi bertiga bersama anak kami kelak.

Stasiun Sampai jumpa lagi, Yogyakarta. Sumber: dokumentasi pribadi.